nDali

Orang Sunda menyebutnya sebagai Dadali.  Burung ini sekeluarga dengan Walet dan Sriti. Bagi yang tidak terbiasa melihatnya, akan menganggap ketiganya sama. Apalagi ketiganya sering berbaur dalam mencari makan.

Walet dan Sriti, keduanya berbadan lebih kecil. Antara keduanya berbeda warna bulunya. Tapi agak susah bagi orang awam untuk membedakan. Yang gampang, adalah dari suaranya.  Keduanya bersuara mencicit, tapi walet suaranya lebih pecah.

Lebih gampang lagi, dari sarangnya. Sriti,  menggunakan liur dan material lain berupa rumput-rumputan, daun cemara atau daun pinus. Sedang Walet sepenuhnya menggunakan liurnya dalam membikin sarang.

nDali, berbadan lebih besar dari keduanya. Warna bulunya tegas, hitam-putih. Ndali jantan separo kepalanya merah, sedang betina seutuhnya hitam.

Alamat burung ini misterius. Kami tidak pernah tahu, dimana mereka tinggal. Yang kami tahu, pada musim-musim tertentu, mereka nongol dengan jumlah yang sangat banyak.

Musim membajak sawah adalah salah satu contohnya. Kala itu, traktor tangan belum sampai di “negeri” kami. Membajak, pasti dengan kerbau atau sapi. Bau badan binatang tersebut mengundang serangga-serangga parasit datang.

Bagi  kawanan ndali, binatang-binatang kecil tersebut adalah sarapan dan makan siangnya. Alhasil rombongan burung akan senantiasa terbang dan berputar-putar di sekitar pak tani yang sedang membajak ini, sepanjang hari. Ini menjadi pentas alam yang begitu cantik.  Sementara ndali sibuk dengan serangganya, kerbau atau sapi menarik bajak sambil menikmati senandung yang didendangkan oleh pak Tani. Senandung ini, – kami menyebutnya dengan istilah eyo eyo – selalu dilantunkan setiap membajak sawah. Sepertinya pak Tani hendak meyakinkan pada ternaknya, bahwa ini adalah sebuah kerjasama yang bersahabat. Bukan eksploitasi.

Pemandangan paling atraktif terjadi ketika burung-burung ndali istirahat di kebun melon. Di kebun melon, terdapat ribuan pancang bambu. Ini sengaja dibuat karena melon termasuk tanaman merambat.  Jarak antar tanaman begitu rapat, sehingga ketika kawanan burung ini kompak hinggap di atasnya, akan nampak totol-totol hitam di setiap ujung pancang.

Bukan saja indah, posisi atau kondisi ini juga sangat menggiurkan bagi yang sedang membawa plintheng. Hanya dengan bidikan yang tidak perlu terlalu akurat – cukup memperhitungkan ketinggiannya saja –  kita bisa menjatuhkan satu, dua bahkan tiga ekor dalam sekali tembak. Masuk akal, sebab meleset di satu burung, masih sangat mungkin kena di burung yang ada di samping dan atau belakangnya.

nDali adalah kawanan burung yang tidak bisa “diselesaikan” dengan jaring. Aku pernah terbengong-bengong ketika suatu saat bermaksud menjaringnya.

Saat itu ratusan ekor burung, terbang sangat rendah, berputar-putar di satu titik. Rupanya di situ banyak serangga. Sudah terbayang di depan mata, hari itu aku bakal panen raya. Tetapi begitu jaring telah kupasang, mereka dengan sangat mudah bisa menghindarinya. Gayanya yang seolah-olah hendak menabrak, tetapi kemudian meloncatinya, persis atlit haling rintang. Menggemaskan sekali.

Kucari-cari, apa yang salah dengan peralatanku.  Semua telah terpasang sebagaimana mestinya. Rupanya memang tidak ada yang salah, kecuali satu hal, yakni  bahwa aku melupakan apa yang dimakan  burung-burung itu. Tentu saja mereka bisa mendeteksi adanya jaring, karena “pekerjaan” mereka saban hari adalah mengejar serangga terbang yang ukurannya jauh lebih lembut ketimbang jaring.  Memasang jaring untuk mereka, hanya akan memperoleh kejengkelan.

Tinggalkan komentar